Rumah Perlawanan Perempuan Militan Menuntut Hak Pilih

TIDAK ADA penguasa di kolong langit sebelah mana pun dengan sukarela memberikan sesuatu ke warganya, apalagi kalau itu dapat mengancam kedudukan mereka. Tak terkecuali apa yang dari kacamata sekarang tampak sebagai sesuatu yang terberi, yang sudah dari sananya begitu, dan tidak pernah dipertanyakan lagi: hak pilih. Tidak lebih dan tidak kurang, hak memilih wakil di parlemen dan pemerintahan adalah sesuatu yang diperjuangkan, apalagi bagi para perempuan, yang dalam dunia serba maskulin kerap dianggap warga kelas dua. 

Mengupayakan hak pilih juga pernah dilakukan oleh para perempuan di Inggris. Di negara itu hak pilih universal–hanya bagi laki-laki berusia 21 ke atas/pembayar pajak–masih menjadi hal asing setidaknya sampai awal abad ke-20. “Perempuan, baik sebagai jenis kelamin atau kelas, tidak memiliki ketenangan temperamen dan keseimbangan pikiran,” demikian Lord Curzon, salah seorang anggota parlemen, menjelaskan mengapa perempuan tak boleh punya hak pilih. Faktanya pada masa itu kerajaan yang dikuasai laki-laki yang tidak temperamen dan pikirannya seimbang menjajah sepertiga populasi dunia. 

Kemudian, sebagaimana banyak kisah-kisah sejarah, muncullah individu atau kelompok yang merasa bahwa apa yang eksis itu keliru dan mencoba mengubahnya. Salah satunya adalah Emmeline Pankhurst, yang pada 1999 lalu masuk ke dalam daftar 100 Orang Paling Penting di Abad ke-20 versi Majalah Time. Aktivisme perempuan yang lahir pada 15 Juli 1858 ini telah dimulai di kota kelahirannya, Manchester. Dia sudah diperkenalkan oleh orang tua yang juga aktivis dalam isu hak pilih universal pada usia sangat belia, 14. 

Pankhurst memang bukan pelopor gerakan. Upaya agar perempuan punya hak pilih bahkan telah muncul sebelum dia lahir–setidaknya anjurannya telah terlacak sejak 1818 dalam dokumen tentang reformasi parlemen. Namun demikian, gerakannya terus mendorong tuntutan ke titik didih hingga kemudian meledak. 

Dan semua itu berpusat di London, tepatnya di Clement’s Inn, yang sekarang adalah bagian dari kampus London School of Economics and Political Science (LSE). Situs resmi LSE menyebut Clement’s Inn didirikan pada masa Raja Edward IV dan telah terdokumentasikan paling tidak di peta London abad ke-16. 

Pada Rabu (24/4) lalu saya sengaja melewati “rumah perjuangan” ini setelah mengantar Fildzah ke kampusnya untuk seminar. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya 20-an menit jalan kaki via salah satu jalan utama di Central London, Kingsway, kemudian berbelok ke Portugal Street setelah melewati Lincoln’s Inn Fields. Anda akan menemukan globe raksasa tempat orang biasa berfoto di sebelah kiri sebagai penanda kompleks kampus di sisi kanannya. Saat saya lewat, gedung di sampingnya sedang direnovasi dan para pekerja berompi oranye dan hijau tampak sibuk. 

Clement’s Inn atau Pethick-Lawrence House. Dokumentasi penulis.

Nama mutakhir Clement’s Inn sejak 2018 lalu adalah Pethick-Lawrence House. Pethick-Lawrence sendiri adalah nama gabungan dari pasangan pemilik rumah, Frederick Lawrence dan istrinya, Emmeline Pethick. Keduanya berhubungan erat dengan Pankhurst masih dalam konteks mengadvokasi hak pilih perempuan. Begini ceritanya: 

Pankhurst sadar betul bahwa satu-satunya cara agar utopianya tercapai adalah dengan berorganisasi. Demikianlah pada 10 Oktober 1903, ketika berusia 45 tahun, Pankhurst mendirikan Women’s Social and Political Union (WSPU) di 62 Nelson Street, Manchester. Anak-anak Pankhurst, Christabel, Sylvia, dan Adela juga turut serta dalam organisasi. Setelah tiga tahun didirikan, WSPU lebih dikenal dengan nama Suffragettes (yang berarti ‘hak pilih’).

Sejak awal, selain menetapkan bahwa tujuan organisasi adalah agar ada hak pilih universal (dengan slogan “wake up the nation”), Pankhurst juga membatasi keanggotaan hanya untuk para perempuan. 

Pada tahun-tahun awal, apa yang bisa dilakukan WSPU sangat terbatas, baik dalam hal keanggotaan atau pengaruh. Salah satu kawan Pankhurst, juga pendiri Partai Buruh, Keir Hardie, kemudian mengusulkan agar organisasi dipindah ke London. Hardie pikir itulah cara yang paling tepat untuk membesarkan organisasi dan pengaruh sebab di sanalah pusat kekuasaan berada. Hardie jugalah yang memperkenalkan Pankhurst ke Pethick. 

Masalahnya, meski setuju dengan usul itu, Suffragettes adalah organisasi miskin. Jangankan punya uang, anggota saja tidak banyak. Mungkin London masa itu sudah sama seperti London sekarang, semua serba mahal dari mulai urusan makan sampai perkara sewa rumah (terkutuklah para tuan tanah yang seenaknya mematok harga, semoga kuburan kalian sempit!). Di sinilah Pethick dan Lawrence berperan. Mereka sepakat untuk memberikan satu kamar apartemen untuk jadi kantor pertama WSPU. Pethick bahkan jadi orang pertama yang memberikan uang ke organisasi tersebut. Maka demikianlah WSPU beroperasi secara resmi di London sejak 1906. 

Pethick dan Lawrence, dalam hal ini, mirip seperti figur Friedrich Engels. Menurut Rees dan German (2012), pasangan ini adalah “kaum kaya tapi berkomitmen terhadap sosialisme.” Engels, ya, sama persis. Mereka juga dikatakan “memainkan peran utama dalam pendanaan dan pengorganisasian WSPU selama beberapa tahun ke depan.” Peran ini juga dijalankan oleh Engels terhadap kameradnya, Karl Marx. 

WSPU memulai semuanya dengan cepat segera setelah pindah. Awalnya organisasi mengadvokasi hak pilih universal dengan cara-cara biasa, yang umum kita ketahui sekarang dijalankan oleh LSM, misalnya demonstrasi dan melayangkan petisi. 

Pelan tapi pasti pengaruh WSPU meluas, dan ini berpengaruh terhadap kebutuhan ruang kantor. Dari yang awalnya hanya satu kamar, WSPU pada akhirnya menempati 27 ruangan dalam gedung apartemen Pethick-Lawrence karena departemen yang juga terus bertambah. Dua di antaranya adalah ruangan untuk departemen penerangan (humas) dan ruang redaksi Women’s Press yang mencetak koran Votes for Women. Koran ini mulai didistribusikan sejak Oktober 1907 dan dinakhodai tak lain oleh si empunya rumah, Emmeline Pethick. 

Foto dari LSE.

Meski berkembang, respons dari penguasa acuh tak acuh. Hal ini kemudian mendorong Suffragettes melancarkan aksi yang lebih berani. Para anggotanya, misalnya, pernah merantai diri sendiri di pagar rumah dinas perdana menteri, Downing Street (setengah jam jalan kaki dari Clement’s Inn). Para perempuan Suffragettes juga sudah terbiasa mengejek para menteri jika mereka menyelenggarakan pertemuan publik. Beberapa aksi berani lain yang pernah mereka lakukan adalah sengaja ribut dengan polisi, merusak kotak suara dengan cairan asam, memecahkan jendela rumah, merusak karya seni di National Gallery, sampai merusak mobil perdana menteri. 

Aksi yang lebih berani membuat dukungan kepada mereka berlipat ganda. Sepanjang 1908-1909, tak kurang dari 80 kali rapat akbar berhasil mereka lakukan dan melibatkan ribuan orang di gedung konser Royal Albert Hall. Ketika menyelenggarakan demonstrasi di Hyde Park, pesertanya berasal dari penjuru negara. Tak kurang dari 30 kereta masuk ke London mengangkut massa aksi yang berasal dari 70 kota.  

“London mungkin belum pernah dibanjiri propaganda seintensif ini,” kata Rees dan German (2012), menjelaskan bagaimana gerakan Suffragettes menjadi amat populer. 

Namun, bukannya mengabulkan tuntutan, para penguasa yang keras kepala malah bertindak represif. Demonstrasi dibalas dengan penangkapan. Pun dengan aksi-aksi lain. Antara musim semi 1907 sampai 1908, total waktu yang dihabiskan seluruh demonstran ketika meringkuk di penjara mencapai 191 pekan, lalu berlipat ganda menjadi 350 pekan pada tahun berikutnya. Antara 1908 sampai 1914, ada lebih dari 1.000 anggota Suffragettes yang dipenjara. Tapi di penjara pun mereka masih coba menarik perhatian publik dengan cara mogok makan. 

Polisi juga menyasar para pimpinan organisasi, sepandai-pandainya mereka berusaha melompat. Pankhurst gagal menghindar dari penjara setelah Suffragettes mengadakan rapat umum di Trafalgar Square pada 11 Oktober 1908. Pankhurst tidak ditangkap saat itu juga, dia sempat bersembunyi di atap Clement’s Inn. Pada pukul 6 sore, dia secara sadar masuk ke kantor WSPU yang sudah dipenuhi polisi dan menyerahkan diri. Sementara Pethick pernah ditangkap pada 1912 dengan alasan memicu kerusuhan dan perusakan properti. 

Setahun kemudian bahkan pertemuan umum WSPU resmi dilarang, tepatnya pada April 1913. Kantor mereka diserbu dan persnya dibungkam. Kemunduran sudah terlihat di depan mata. Apa jadinya organisasi politik tanpa koran?  

Namun masalah bukan hanya berasal dari eksternal. Justru problem pertama-tama datang dari dalam, dan itu ideologis, bukan masalah personal seperti yang sering kita dengar di organisasi-organisasi gerakan di Indonesia, yaitu ketidaksepakatan para anggota terutama di level pimpinan soal taktik. Pethick tidak sepakat dengan Pankhurst yang menghalalkan segala, termasuk aksi-aksi terorisme (Suffragettes pernah menanam bom persis di bawah mimbar uskup di Gereja St Paul, untungnya gagal meledak karena masalah teknis). Sebaliknya, Pankhurst menganggap Pethick dan keluarganya terlalu lembek. 

Emmeline Pankhurst dan Emmeline Pethick. Foto dari Flickr.

Tidak ada jalan keluar. Dan karena Pankhurst posisinya lebih kuat dalam organisasi, dia memecat Pethick persis setelah Pethick bebas dari jeruji besi. Maka berakhirlah sejarah WSPU di Clement’s Inn. Pankhurst, yang organisasinya sekarang punya lebih banyak uang, memindahkan kantor ke Kingsway, tak jauh dari tempat lama.  

Dua tahun kemudian, Perang Dunia I pecah. Inggris terlibat. Bersama Prancis dan Rusia mereka melawan Jerman, Austria, dan Italia. Tak hanya tentara reguler, perang juga melibatkan anak-anak muda. Mereka dimobilisasi ke medan tempur dengan iming-iming menjadi warga mulia karena membela negara/nasionalisme. Sebagian tidak pernah kembali hidup-hidup. WSPU yang sekarang dikuasai secara tunggal oleh Pankhurst mendukung perang itu, dengan kata lain, bersorak-sorai untuk pemerintah yang selama bertahun-tahun mereka cela dengan cara paling ekstrem. 

Bersamaan dengan itu, propaganda dan segala advokasi menuntut hak pilih dihentikan. Bagi mereka, mendukung negara dalam perang dan merekrut perempuan turut berkontribusi jauh lebih penting ketimbang hak pilih universal. Alih-alih mendapat lebih banyak pengikut seperti yang diharapkan, WSPU justru kian memudar dan tak relevan. Akhirnya, pada waktu yang sama setelah perang selesai, WSPU dibubarkan. Pankhurst mengubahnya menjadi Partai Perempuan (Women’s Party) pada November 1917, yang pengaruhnya tidak pernah bisa menyamai organisasi lama. 

Luluh lantak meski keluar sebagai pemenang, ekonomi amburadul (biaya perang setidaknya 3 miliar pound sterling), dan massa yang marah (salah satunya karena pajak dinaikkan) adalah kombinasi mematikan yang membuat pemerintah akhirnya memberikan konsesi yang selama puluhan tahun hanya bisa diimpikan oleh perempuan. Lewat Representation of the People Act 1918, perempuan di atas usia 30 berhak memilih dalam pemilu nasional. Tak lama kemudian bahkan disahkan peraturan yang memungkinkan perempuan menjadi wakil rakyat di parlemen. Pada 1928, usia berhak memilih bagi perempuan diturunkan menjadi 21, yang berarti sama seperti laki-laki. 

Demikianlah cerita Clement’s Inn, atau sekarang Pethick-Lawrence House, monumen dari perjuangan panjang dan melelahkan yang mengubah Inggris selamanya.

Dipublikasikan oleh


Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai